A. Pengertian Sekolah Dasar (SD)
Inklusi
Inklusi adalah istilah
terbaru yang dipergunakan untuk mendeskripsikanpenyatuan bagi anak-anak
berkelainan (penyandang hambatan/cacat) ke dalamprogram-program sekolah.
Inklusi berasal dari kata bahasa Inggris yaitu inclusion.
Bagi sebagian besar
pendidik, istilah ini dilihat sebagai deskripsi yang lebih positif dalam
usaha-usaha menyatukan anak-anak yang memiliki hambatan dengan cara-cara yang
realistis dan komprehensif dalam kehidupan pendidikan yang menyeluruh. Inklusi
dapat berarti bahwa tujuan pendidikan bagi siswa memiliki hambatan adalah,
keterlibatan yang sebenarnya dari tiap anak dalam kehidupan sekolah yang
menyeluruh. Inklusi dapat berarti penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan
ke dalam kurikulum, lingkungan, interaksisosial dan konsep diri (visi-misi)
sekolah.
Pendidikan inklusi merupakan sebuah pendekatan yang
berusaha mentransformasi sistem pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan
yang dapat menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi penuh dalam
pendidikan. Hambatan yang ada bisa terkait dengan masalah etnik, gender, status
sosial, kemiskinan dan lain-lain. Dengan kata lain pendidikan inklusi adalah
pelayanan pendidikan anak berkebutuhan khusus yang dididik bersama-sama anak lainnya
(normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.
Sekolah inklusi adalah sekolah reguler yang
mengkoordinasi dan mengintegrasikan siswa reguler dan siswa penyandang cacat
dalam program yang sama, dari satu jalan untuk menyiapkan pendidikan bagi anak
penyandang cacat adalah pentingnya pendidikan inklusi, tidak hanya memenuhi
target pendidikan untuk semua dan pendidikan dasar 9 tahun, akan tetapi lebih
banyak keuntungannya tidak hanya memenuhi hak-hak asasi manusia dan hak-hak
anak tetapi lebih penting lagi bagi kesejahteraan anak, karena pendidikan
inklusi mulai dengan merealisasikan perubahan keyakinan masyarakat yang
terkandung di mana akan menjadi bagian dari keseluruhan, dengan demikian
penyandang cacat anak akan merasa tenang, percaya diri, merasa dihargai,
dilindungi, disayangi, bahagia dan bertanggung jawab.
Inklusi terjadi pada semua lingkungan sosial anak,
Pada keluarga, pada kelompok teman sebaya, pada sekolah, pada
institusi-institusi kemasyarakatan lainnya. Sebuah masyarakat yang melaksanakan
pendidikan inklusi berkeyakinan bahwa hidup dan belajar bersama adalah cara
hidup (way of life) yang terbaik, yang menguntungkan semua orang, karena tipe
pendidikan ini dapat menerima dan merespon setiap kebutuhan individual anak.
Dengan demikian sekolah atau pendidikan menjadi suatu lingkungan belajar yang
ramah anak-anak. Pendidikan inklusi adalah sebuah sistem pendidikan yang
memungkinkan setiap anak penuh berpartisipasi dalam kegiatan kelas reguler
tanpa mempertimbangkan kecacatan atau karakteristik lainnya.
B.
Karakteristik Sebagai Guru Sekolah Dasar (SD)
Inklusi
Guru sekolah
inklusi yang efektif harus memahami dan apresiasi terhadap keberagaman siswa
yang berarti mereka harus dibekali dengan berbagai teknik pendidikan umumnya
maupun pendidikan khusus dan harus juga menjadi nyaman dengan perubahan, serta
mereka harus belajar secara dini pada persiapan mereka untuk menjadi fleksibel
dan kreatif. Adapun karakteristik sebagai gutrtu yaitu :
1. Keyakinan, nilai, dan sikap guru terhadap
pendidikan inklusi yaitu guru umum atau reguler untuk mengajar anak dengan
keragaman kebutuhan dan perilaku belajar yang memberikan kesempatan terhadap
keefektifan pendidikan inklusi. Guru menghargai belajar sebagai proses
sepanjang hayat dimana mereka dapat membagi tanggungjawab dengan orangtua untuk
memaksimalkan kualitas kecintaan anak, kebutuhan meraih kompetensi akademik dan
sosial anak sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan inklusi.
2. Memungkinkan kondisi untuk pendidikan inklusi
yaitu proses penggabungan pendidikan umum atau reguler dan pendidikan khusus
mempersyaratkan guru untuk melakukan konsultasi dan kolaborasi satu dengan yang
lain dan adanya perencanaan penyediaan pembelajaran adaptif untuk semua anak.
Sikap positif dan ketersediaan sumber akan mempengaruhi kondisi dalam
pelaksanaan pendidikan inklusi antara lain latihan dan pengembangan profesional
guru, penyatuan sumber kepemimpinan administratif dan dukungan.
3. Pembelajaran adiptif yaitu pembelajarn ytang
merespon yang mengadaptasi kebutuhan belajar yang unik dari semua siswa secara
inovatif dan kolaboratif.
4. Pelatihan dan pengembangan profesional yaitu
guru membutuhkan informasi yang akan memperluas pemahaman apresiasi terhadap
keburtuhan khusus.
5. Pencapaian integrasi sosial yaitu
pengembangan ketrampilan terhadap anak berkebutuhan khusus dengan siswa
lainnya.
C. Kondisi Sekolah Dasar (SD) Inklusi
1. Peserta didik
Untuk kelas-kelas rendah atau di sekolah dasar,
adanya anak-anak yang termasuk anak berkebutuhan khusus sangat mungkin kita
temukan di sana. Namun keberadaan anak ini biasanya belum begitu dikenali oleh
guru pengampunya. Hal ini terjadi karena guru belum memiliki wawasan mengenai
anak berkebutuhan khusus. Guru di sekolah dasar kebanyakan baru mengetahui
mengenai anak tunanetra, tunarungu, dan tunadaksa, autisme saja karena relatif
mudah dikenali dan dideteksi. Biasanya yang lain belum begitu banyak dikenali
sehingga sangat mungkin memberikan perlakuan yang salah. Bagi yang telah
terbiasa bergelut atau menangani anak berkebutuhan khusus tentu telah banyak
memiliki wawasan dan kemampuan mengidentifikasi anak berkebutuhan khusus. Hal
ini, tentu sangat berbeda dengan mereka yang belum terbiasa atau bukan
bidangnya sehingga banyak memiliki keterbatasan pengetahuan dan keterampilan
dalam memahami anak berkebutuhan khusus. Untuk mengidentifikasi apakah seorang
anak tergolong anak dengan kebutuhan khusus atau bukan, perlu terlebih dahulu
dirumuskan pengertian anak kebutuhan khusus, ciri-ciri atau karakteristik,
kemudian dirumuskan kaitannya dengan identifikasi anak berkebutuhan khusus ini.
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang secara signifikan mengalami kelainan
atau penyimpangan baik secara fisik, mental-intelektual, sosial, dan emosional
dalam proses pertumbuhan dan atau perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak
lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Dengan
demikian, meskipun seorang anak mengalami kelainan atau penyimpangan tertentu,
namun tidak signifikan sehingga mereka tidak memerlukan pelayanan pendidikan
khusus, maka anak tersebut tidak termasuk anak kebutuhan khusus. Namun
sebaliknya walaupun kelihatannya mereka secara fisik, mental-intelektual,
sosial, dan emosional tidak mengalami kelainan namun apabila dalam
pendidikannya mereka memerlukan layanan khusus maka anak tersebut dikatakan
sebagai anak berkebutuhan khusus. Untuk memahami lebih lanjut anak berkebutuhan
khusus dalam konteks pendidikan maka pengenalan mengenai anak berkebutuhan
khusus sangat diperlukan. Adapun beberapa jenis anak berkebutuhan khusus yang
sering kita temukenali, secara singkat dijelaskan sebagai berikut:
a. Anak
tunanetra adalah
anak yang mengalami gangguan daya penglihatannya, berupa kebutaan menyeluruh
atau sebagian, dan walaupun telah diberi pertolongan dengan alat-alat bantu
khusus masih tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Sebagaiama diketahui
bahwa setiap anak dengan kebutuhan khusus memiliki karakteristik atau ciri-ciri
tertentu yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Karakteristik atau
ciri-ciri yang menonjol dari anak tunanetra adalah: a. tidak mampu melihat, b.
tidak mampu mengenali orang pada jarak 6 meter erusakan nyata pada kedua bola
mata, c. sering meraba-raba/tersandung waktu berjalan, d. mengalami kesulitan
mengambil benda kecil di dekatnya, e. bagian bola mata yang hitam berwarna
keruh/besisik/kering, f. peradangan hebat pada kedua bola mata, dan g. mata
sering bergoyang. Karakteristik yang ada ini tentu tidak mesti semuanya muncul,
namun bila sangat mendominiasi dan mengganggu proses pendidikannya maka
dikatakan sebagai anak tunanetra sehingga memerlukan pelayanan khusus dalam pendidikannya.
b. Anak
tunarungu adalah
anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya pendengarannya sehingga tidak
atau kurang mampu berkomunikasi secara verbal dan walaupun telah diberikan
pertolongan dengan alat bantu dengar masih tetap memerlukan pelayanan
pendidikan khusus. Dalam kelompok tunarungu ini biasanya juga kita kenal adanya
anak yang mengalami gangguan komunikasi yaitu anak yang mengalami kelainan
suara, artikulasi atau pengucapan, atau kelancaran bicara, yang mengakibatkan
terjadi penyimpangan bentuk bahasa, isi bahasa, atau fungsi bahasa, sehingga
memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Memang anak yang mengalami gangguan
komunikasi tidak selalu disebabkan karena faktor ketunarunguan. Karakteristik
anak tunarungu adalah: a. tidak mampu mendengar, b. terlambat perkembangan
bahasa, c. sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi, d. Kurangatau tidak
tanggap bila diajak bicara, e. ucapan kata tidak jelas, f. kualitas suara
monoton, g. sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar, dan h. banyak
perhatian terhadap getaran. Anak yang mengalami gangguan komunikasi memiliki
karakteristik; a. sulit menangkap isi pembicaraan orang lain, b. tidak lancar
dalam berbicara dan mengemukakan ide, c. sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi,
d. kalau berbicara sering gagap atau gugup, e. suaranya parau, f. tidak fasih
mengucapkan kata-kata tertentu seperti celat atau cadel, dan g. organ bicaranya
tidak normal.
c. Anak
tunagrahitaatau
sering disebut retardasi mental adalah anak yang secara nyata mengalami
hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental jauh di bawah rata-rata,
sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, komunikasi maupun
sosial, dan karenanya memerlukan layanan pendidikan khusus. Tunagrahita dapat
dibedakan menjadi tiga yaitu mampu didik, mampu latih dan mampu rawat. Adapun
karakteristik anak tunagrahita adalah: a. penampilan fisik tidak seimbang,
misalnya kepala terlalu kecil/ besar, b. tidak dapat mengurus diri sendiri
sesuai usia, c. perkembangan bicara/bahasa terlambat, d. tidak ada/kurang
sekali perhatiannya terhadap lingkungan (pandangan kosong), e. koordinasi
gerakan kurang (gerakan sering tidak terkendali), dan f. sering keluar ludah
dari mulut (ngiler). Anak tunagrahita terutama yang memiliki tingkat
intelegensi antara 55-75 inilah yang sering luput dari perhatian guru di
sekolah, karena guru tidak menyangka kalau siswanya tersebut termasuk anak
tunagrahita sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
d. Anak
tunadaksa adalah
anak yang mengalami kelainan atau cacat yang menetap pada alat gerak (tulang,
sendi, otot) dan syaraf sedemikian rupa sehingga memerlukan pelayanan
pendidikan khusus. Anak tunadaksa jenisnya sangat banyak dan saat ini yang
sering kita temukan adalah anak tunadaksa jenis cerebral palsy dan
poliomylitis. Adapun karakteristik anak tunadaksa adalah: a. anggota gerak
tubuh kaku/lemah/lumpuh, b. kesulitan dalam gerakan (tidak sempurna, tidak
lentur/tidak terkendali), c. terdapat bagian anggota gerak yang tidak
lengkap/tidak sempurna/lebih kecil dari biasa, d. terdapat cacat pada alat
gerak, e. jari tangan kaku dan tidak dapat menggenggam, f. kesulitan pada saat
berdiri/berjalan/duduk, dan menunjukan sikap tubuh tidak normal. Jenis anak
tunadaksa ini mungkin guru sudah mampu mengenali namun sangat mungkin guru
belum sampai memahami jenis apa dan bagaimana memberikan pelayanan yang tepat
bagi mereka.
e. Anak
tunalarasyaitu
anak yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dan bertingkah laku tidak
sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kelompok usia maupun
masyarakat pada umumnya, sehingga merugikan dirinya maupun orang lain, dan
karenanya memerlukan pelayanan pendidikan khusus demi kesejahteraan dirinya
maupun lingkungannya. Anak tunalaras secara umum memiliki karakteristik sebagai
berikut; a. bersikap membangkang, b. mudah terangsang emosinya/emosional/mudah
marah, c. sering melakukan tindakan agresif, merusak, mengganggu, d. sering
bertindak melanggar norma sosial atau norma susila atau hukum. Anak tunalaras
ini dalam pengkajian selanjutnya sering disebut sebagai anak dengan gangguan
emosi dan perilaku. Dikatakan anak dengan gangguan emosi dan perilaku karena
lebih menitikberatkan pada faktor penyebab dan kemungkinan tindakan untuk
memberikan layanan bagi anak tersebut.
f. Anak
berbakatadalah
anak yang memiliki potensi kecerdasan atau inteligensi, kreativitas tinggi, dan
tanggungjawab terhadap tugas atau task commitment di atas anak-anak
seusianya atau anak normal, sehingga untuk mewujudkan potensinya menjadi
prestasi nyata, memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Sangat banyak
karakteristik yang melekat pada anak berbakat antara lain; a. membaca pada usia
lebih muda, b. membaca lebih cepat dan lebih banyak, c. memiliki perbendaharaan
kata yang luas, d. mempunyai rasa ingin tahu yang kuat, e. mempunyai minat yang
luas, f. mempunyai inisiatif dan dapat berkeja sendiri, g. menunjukkan keaslian
(orisinalitas) dalam ungkapan verbal, h. dapat memberikan banyak gagasan, i.
luwes dalam berpikir, j. terbuka terhadap rangsangan-rangsangan dari
lingkungan, k. mempunyai pengamatan yang tajam, l. dapat berkonsentrasi untuk
jangka waktu panjang, terutama terhadap tugas atau bidang yang diminati, m.
berpikir kritis, juga terhadap diri sendiri, n. senang mencoba hal-hal baru, o.
mempunyai daya abstraksi, konseptualisasi, dan sintesis yang tinggi, p. senang
terhadap kegiatan intelektual dan pemecahan-pemecahan masalah, q. cepat
menangkap hubungan sebabakibat, r. berperilaku terarah pada tujuan, s.
mempunyai daya imajinasi yang kuat, t. mempunyai daya ingat yang kuat, u. tidak
cepat puas dengan prestasinya, dan sebagainya.
g. Anak
lamban belajaratau anak slow learner adalah
anak yang memiliki potensi intelektual sedikit di bawah normal tetapi belum
termasuk tunagrahita. Dalam beberapa hal mengalami hambatan atau keterlambatan
berpikir, merespon rangsangan dan adaptasi sosial, tetapi masih jauh lebih baik
dibanding dengan yang tunagrahita, lebih lamban dibanding dengan yang normal,
mereka butuh waktu yang lebih lama dan berulang-ulang untuk dapat menyelesaikan
tugas-tugas akademik maupun non akademik, dan karenanya memerlukan pelayanan
pendidikan khusus. Anak dengan lamban belajar memiliki karakteristik sebagai
berikut; a. rata-rata prestasi belajarnya selalu rendah, b. dalam menyelesaikan
tugas-tugas akademik sering terlambat dibandingkan teman-teman seusianya, c.
daya tangkap terhadap pelajaran lambat. Anak-anak ini juga sangat mungkin
sering luput dari perhatian guru, karena secara fisik atau penampilan fisik
anak-anak ini tidak menunjukan adanya perbedaan yang mencolok dangan anak-anak
pada umumnya. Keberadaan anak lamban belajar sesungguhnya termasuk dalam jumlah
yang banyak dan sering ditemukan di sekolah terutama di sekolah dasar di kelas
rendah yaitu antara kelas satu hingga kelas tiga.
h. Anak
berkesulitan belajar
Spesifik adalah anak yang secara
nyata mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik khusus terutama dalam hal
kemampuan membaca, menulis dan berhitung atau matematika. Anak berkesulitan
belajar spesifik diduga disebabkan karena faktor disfungsi neugologis, bukan
disebabkan karena faktor inteligensinya. Kebanyakan anak berkesulitan belajar
spesifik memiliki inteligensi normal bahkan ada yang di atas normal tetapi
mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak berkesulitan belajar
spesifik dapat berupa kesulitan belajar membaca (disleksia), kesulitan belajar
menulis (disgrafia), atau kesulitan belajar berhitung (diskalkulia), sedangkan
mata pelajaran lain mereka tidak mengalami kesulitan yang signifikan atau
berarti. Anak yang mengalami kesulitan membaca (disleksia) maka perkembangan kemampuan
membacanya terlambat, kemampuan memahami isi bacaan rendah, dan kalau membaca
sering banyak salah. Anak yang mengalami kesulitan belajar menulis (disgrafia)
yaitu kalau menyalin tulisan sering terlambat selesai, sering salah menulis
huruf b dengan p, p dengan q, v dengan u, 2 dengan 5, 6 dengan 9, dan
sebagainya. Hasil tulisannya jelek dan tidak terbaca, tulisannya banyak
salah/terbalik/huruf hilang, sulit menulis dengan lurus pada kertas tak
bergaris. Adapun anak yang mengalami kesulitan belajar berhitung (diskalkulia)
adalah mereka yang sulit membedakan tanda-tanda: +, -, x, :, >, <, =,
sulit mengoperasikan hitungan/bilangan, sering salah membilang dengan urut,
sering salah membedakan angka 9 dengan 6; 17 dengan 71, 2 dengan 5, 3 dengan 8,
dan sebagainya, dan sulit membedakan bangun-bangun geometri.
i.
Anak autisme adalah anak yang mengalami
kelainan tumbuh kembang yang ditandai dengan tidak adanya kontak dengan orang
lain dan asyik dengan dunianya sendiri. Mereka tidak tuli dan tidak tunawicara,
mereka juga belum tentu berintelegensi rendah. Adanya keterlambatan dalam
perolehan berbahasa dan perilaku bahasanya yang demikian maka dikatakan
bahasanya ”bahasa planet”. Selain itu anak autisme juga mengalami gangguan
komunikasi, berperilaku khusus, dan gangguan interaksi sosial. Anak autisme di
Indonesia mencuat atau banyak dibicarakan baru diakhir tahun 90an, sedangkan di
luar negeri sudah jauh dari itu sekitar tahun 50an. Anak-anak autisme paling
banyak diderita oleh anak laki-laki. Secara sepentas, fisik anak autisme tidak
menunjukan perbedaan dengan anak-anak lain pada umumnya, hanya saja ketika kita
panggil atau kita ajak berkomunikasi maka mereka tidak meunjukkan respon yang
baik dan tidak ada kontak. Dengan adanya tanda-tanda yang demikian maka keberadaan
anak autisme ini juga sangat mungkin ditemukan di sekolah dasar. Namun
bagaimana mungkin guru di sekolah tersebut dapat menangani dengan baik bila
belum memiliki pengetahuan tentang anak autisme termasuk melakukan identifikasi
untuk mereka.
Dengan
demikian cara untuk menyiapkan pendidikan bagi anak penyandang cacat adalah
pentingnya pendidikan inklusi, lebih banyak keuntungan yang bisa diperolah oleh
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), tidak hanya memenuhi hak-hak asasi manusia dan
hak-hak anak tetapi lebih penting lagi bagi kesejahteraan anak, karena
pendidikan inklusi mulai dengan merealisasikan perubahan keyakinan masyarakat
yang terkandung di mana akan menjadi bagian dari keseluruhan, dengan demikian
penyandang cacat anak akan merasa tenang, percaya diri, merasa dihargai,
dilindungi, disayangi, bahagia dan bertanggung jawab. Harapan inilah yang
kemudian menjadi pendorong bagi terlaksananya pendidikan inklusi di
sekolah-sekolah inklusif yant telah ditentukan dan tersebar di seluruh wilayah
Indonesia.
2. Pendidik (guru)
Kemampuan identifikasi anak berkebutuhan khusus bagi
seorang guru sekolah dasar merupakan hal yang sangat penting. Kemampuan
identifikasi ini sifatnya masih sederhana, baru sebatas melihat gejala-gejala
fisik yang nampak. Untuk mengidentifiasi yang sesungguhnya secara akurat, tentu
dibutuhkan tenaga profesional yang lebih berwenang, seperti tenaga medis,
psikolog, orthopedagog, dan sebagainya. Dengan adanya alat identifikasi anak
kebutuhan khusus tentu dapat membantu guru. Instrumen dapat disusun oleh guru
yang bersangkutan apabila telah memiliki wawasan atau sekedar menggunakan
instrumen yang telah ada dan tinggal menyesuaikan dalam penggunaannya.
Instrumen ini disusun dengan mencantumkan daftar pertanyaan atau pernyataan
yang berisi gejala-gejala yang nampak pada anak untuk setiap jenis kelainan.
Dengan adanya bantuan instrumen pengamatan, seorang guru sekolah dasar dapat
mengidentifikasi calon ataupun peserta didiknya. Seorang guru sekolah dasar,
dengan mengamati gejala-gejala yang nampak atau jika menemukan anak yang
memiliki tanda-tanda mirip atau sama dengan gejala-gejala yang tertulis dalam
instrumen, maka guru dengan mudah dapat menandainya, dan jika secara kualitatif
memenuhi standar minimal yang ditetapkan, maka anak tersebut dapat
dikategorikan sebagai anak dengan kebutuhan khusus. Dengan instrumen
identifikasi ini, secara sederhana dapat disimpulkan apakah seorang anak
tergolong anak dengan kebutuhan khusus atau bukan.
Identifikasi secara harfiah adalah menemukan atau
menemukenali. Setelah dilakukan identifikasi, kondisi seseorang dapat
diketahui, apakah pertumbuhan dan perkembangannya normal atau tidak. Apabila
mengalami kelainan atau penyimpangan, maka guru dapat mengelompokkan atau
mengidentifikasi sebagaimana dalam kelompokknya: apakah termasuk anak
tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa atau bahkan anak
berbakat dan sebagainya. Dengan diketahui atau diidentifikasinya anak di awal
pembelajaran maka guru tentu akan lebih baik dalam memberikan pelayanan selanjutnya
apalagi kalau sampai dikatehui anak tersebut sebagai anak berkebutuhan khusus.
Kegiatan identifikasi sifatnya masih sederhana dan tujuannya lebih ditekankan
pada menemukan secara kasar apakah seorang anak tergolong anak dengan kebutuhan
khusus atau bukan. Sebagaimana biasanya identifikasi dapat dilakukan oleh
orang-orang yang dekat dengan anak, seperti orang tuanya, pengasuhnya, atau
gurunya, maka guru sekolah dasar dalam hal ini dapat melakukan identifikasi
siswa sebagai peserta didiknya. Adapun langkah selanjutnya yaitu asesmen, maka
guru masih memungkinkan melakukan itu dengan catatan guru tersebut memiliki
kemampuan dan wawasan yang mewadai.
Identifikasi dalam kehidupan sehari-hari sering
disebut penjaringan, dan asesmen sebagai penyaringan. Secara umum tujuan
identifikasi adalah untuk menghimpun informasi atau data apakah seorang anak
termasuk anak berkebutuhan khusus atau tidak. Hasil dari identifikasi dan
asesmen akan menjadi dasar dalam penyusunan program pembelajaran selanjutnya
sesuai dengan keadaan dan kebutuhannya. Sebagaimana disebutkan dalam situs
direktorat pembinaan sekolah luar biasa (http:ditplb.org) bahwa dalam rangka
pendidikan inklusi, kegiatan identifikasi anak dengan kebutuhan khusus
dilakukan untuk lima keperluan, yaitu: (1) penjaringan (screening), (2)
pengalihtanganan (referal), (3) klasifikasi, (4) perencanaan pembelajaran, dan
(5) pemantauan kemajuan belajar. Pada tahap pertama, identifiksi berfungsi
menandai anak-anak mana yang menunjukkan gejala-gejala tertentu, kemudian menyimpulkan
anak-anak mana yang mengalami kelainan atau penyimpangan tertentu, sehingga
anak tergolong kebutuhan khusus. Tahap kedua, pengalihtanganan (referral).
Berdasarkan gejala-gejala yang ditemukan pada tahap penjaringan, selanjutnya
anak-anak dapat dikelompokan menjadi dua kelompok. Pertama, ada anak yang tidak
perlu dirujuk ke ahli lain (tenaga profesional) dan dapat langsung ditangani
sendiri oleh guru dalam bentuk layanan pembelajaran yang sesuai. Kedua, ada
anak yang perlu dirujuk ke ahli lain terlebih dulu (referral) seperti psikolog,
dokter, orthopedagog, atau therapis, baru kemudian ditangani oleh guru. Baik
untuk kelompok satu ataupun dua semuanya diawali dari identifikasi yang benar.
Pada tahap klasifikasi atau tahap ketiga, kegiatan
identifikasi bertujuan untuk menentukan apakah anak yang telah dirujuk ke
tenaga profesional benar-benar memerlukan penanganan lebih lanjut atau langsung
dapat diberi pelayanan pendidikan khusus. Apabila berdasar pemeriksaan tenaga
profesional ditemukan masalah yang perlu penanganan lebih lanjut seperti;
pengobatan, therapy, latihan-latihan khusus, dan sebagainya maka guru tinggal
mengkomunikasikan kepada orang tua siswa yang bersangkutan. Jadi guru tidak
mengobati atau melakukan therapy, melainkan sekedar meneruskan kepada orang tua
tentang kondisi anak yang bersangkutan. Guru hanya akan membantu siswa dalam
hal pemberian pelayanan pendidikan sesuai dengan kondisi anak. Apabila tidak
ditemukan tanda-tanda yang cukup bahwa anak yang bersangkutan memerlukan
penanganan lebih lanjut, maka anak dapat dikembalikan ke kelas semula untuk
mendapatkan pelayanan pendidikan khusus. Kegiatan klasifikasi ini memilah-milah
mana anak dengan kebutuhan khusus yang memerlukan penanganan lebih lanjut dan
mana yang langsung dapat mengikuti pelayanan pendidikan khusus di kelas
reguler.
Lalu bagaimana tahap keempat dan kelima adalah
perencanaan pembelajaran, dan pemantauan kemajuan belajar. Tahap keempat dan
kelima tentu dilakukan apabila tahapan satu hingga tiga telah dilakukan dengan
benar. Untuk itulah agar guru sekolah dasar tersebut mampu melkukan
identifikasi anak berkebutuhan khusus dengan benar maka mereka perlu
mendapatkan wawasan tentang anak berkebutuhan khusus dengan benar pula. Wawasan
mengenai anak berkebutuhan khusus tersebut tentu meliputi pengertiannya,
ciri-ciri atau karakteristik yang nampak dan sifat-sifatnya yang tidak langsung
nampak.
Dengan berbekal pemahaman yang benar inilah maka
guru paling tidak akan sedikit terhindar persepsi yang salah. Tentu bekal
pemahaman tentang anak berkebutuhan saja tidaklah cukup, maka tahap selanjutnya
yang harus dilakukan guru sekolah dasar adalah belajar melakukan identifikasi
dan mendiskusikan dengan sesama guru ataupun orang yang dianggap lebih tahu
mengenai anak berkebutuhan khusus ini termasuk mendiskusikan hasil interpretasi
yang telah dan akan dilakukan. Mengasah kemampuan identifikasi anak
berkebutuhan khusus ini dapat dilakukan kapan, dimana saja seperti dalam
kelompok kerja guru, meminta penyuluhan ataupun mencari dan membaca referensi
yang terkait dengan identifikasi anak berkebutuhan khusus.
3. Sarana Prasarana
a.
Mekanisme
Dalam
menentukan kebutuhan dan pengelolaan sarana prasarana perlu memperhatikan
mekanisme berikut ini:
1.
SLB
Pembina dan atau SLB terdekat dijadikan
tempat sebagai center
assesment bagi anak yang diduga
membutuhkan layanan pendidikan khusus. Penempatan layanannya dirujuk ke sekolah
biasa (sekolah penyelenggara pendidikasn inklusif) yang terdekat dengan tempat
tinggalnya.
2.
Pengadaan
sarana dan prasarana yang diberikan pada sekolah penyelenggara pendidikan
inklusif adalah hanya yang bersifat prioritas utama (sesuai dengan kebutuhan
anak berkebutuhan khusus, mudah dioperasikan/tidak memerlukan tenaga operasional
khusus, relatif mudah diadakan/murah dan
dapat dibuat sendiri oleh pengelola pendidikan
anak berkebutuhan khusus).
3.
Penentuan
jumlah sarana dan prasarana didasarkan pada rasio pengguna dengan sarana yang
diadakan ( berprinsip pada faktor guna tinggi).
4. Pada hakekatnya semua sarana dan prasarana
pendidikan yang ada pada SD reguler dapat dimanfaatkan anak berkebutuhan
khusus, hanya memerlukan sedikit modifikasi dalam penggunaannya.
7.
Guru
sekolah biasa yang menangani anak berkebutuhan khusus hanya guru yang telah
dibekali pengetahuan dan kemampuan menangani anak berkebutuhan khusus termasuk
dalam pengadaan dan penggunaan sarana dan prasarana.
8.
Cara
pengadaan dan penggunaan sarana dan prasarana dapat melihat pada SLB terdekat
atau memanggil guru SLB untuk datang memberi contoh mengenai penggunaan alat
yang terdapat di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif.
9.
Jumlah
guru reguler di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif tidak perlu ditambah
tetapi disediakan guru pendidikan khusus (GPK) dari SLB yang dijadikan center
( bisa SLB Pembina atau SLB
terdekat) atau guru sekolah reguler yang dididik dan dilatih untuk menjadi
seorang guru yang memahami ilmu Pendidikan Luar Biasa.
b.
Sarana
dan Prasarana Umum
Sarana
dan prasarana yang dibutuhkan di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif
tidak berbeda dengan sarana dan parasarana yang dibutuhkan di sekolah regular
pada umumnya, yaitu:
1.
Ruang
kelas beserta perlengkapannya (perabot dan peralatan)
2.
Ruang
praktikum (laboratorium) beserta perangkatnya (perabot dan peralatan)
3.
Ruang
perpustakaan beserta perangkatnya (perabot dan peralatan)
4.
Ruang
serbaguna beserta perlengkapannya (perabot dan peralatan)
5.
Ruang
BP/BK beserta perlengkapannya (perabot dan peralatan)
6.
Ruang
UKS berta perangkatnya (perabot dan peralatan)
7.
Ruang
kepala sekolah, guru, dan tata usaha, beserta perlengkapannya (perabot dan
peralatan)
8.
Lapangan
olahraga, beserta peralatannya (perabot dan peralatan)
9.
Toilet
10.
Ruang
ibadah, beserta perangkatnya (perabot dan peralatan)
11.
Ruang
kantin
12.
Ruang
sumber (tempat alat bantu belajar anak berkebutuhan khusus)
c.
Prasarana
Khusus
1.
Anak
Tunanetra
Untuk
peserta didik tunanetra diperlukan ruang untuk melaksanakan kegiatan
Asesmen, Konsultasi, Orientasi dan
Mobilitas, Remedial Teaching, Latihan Menulis Braille, Latihan Mendengar, Latihan Fisik,
Keterampilan, dan penyimpanan alat.
2.
Anak
Tunarungu/Gangguan Komunikasi
Untuk
peserta didik tunarungu/Gangguan Komunikasi diperlukan ruang untuk melaksanakan
kegiatan Asesmen, Konsultasi, Latihan
Bina Wicara, Bina Persepsi Bunyi dan Irama, Remedial Teaching, Latihan Fisik, Keterampilan, dan penyimpanan
alat.
3.
Anak
Tunagrahita
Untuk
peserta didik Tunagrahita/Anak Lamban Belajar diperlukan ruang untuk
melaksanakan kegiatan Assesmen,
Konsultasi, Latihan sensori, Bina diri, Remedial Teaching, Latihan Perseptual, Keterampilan, dan
penyimpanan alat.
4.
Anak
Tunadaksa
Untuk
peserta didik Tunadaksa diperlukan ruang untuk melaksanakan kegiatan
Assesmen, konsultasi, Latihan fisik,
Bina diri, Remedial Teaching,
Keterampilan, dan penyimpanan alat.
5.
Anak
Tunalaras
Untuk
peserta didik Tunalaras diperlukan ruang untuk melaksanakan kegiatan
Assesmen, Konsultasi, Latihan perilaku,
Terapi permainan, Terapi fisik, Remedial Teaching, dan penyimpanan alat.
6.
Anak
Cerdas Istimewa
Di
samping memberdayakan atau mengoptimalkan penggunaan prasarana yang ada apabila
di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif peserta didiknya ada yang
berkecerdasan istimewa, prasarana khusus yang perlu disediakan adalah ruang
assesmen.
7.
Anak
Berbakat Istimewa
Untuk
anak berbakat istimewa di samping memberdayakan atau mengoptimalkan penggunaan
prasarana yang ada apabila di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif peserta
didiknya ada yang berbakat, prasarana khusus yang perlu disediakan adalah ruang
assesmen.
8.
Anak
yang Mengalami Kesulitan Belajar
Untuk
peserta didik yang Mengalami Kesulitan Belajar diperlukan ruang untuk
melaksanakan kegiatan Assesmen, dan
Remedial. Sebagai catatan, pada dasarnya di sekolah penyelenggara pendidikan
inklusif cukup disiapkan satu unit ruang sebagai ”Resource Room” atau ruang sumber.
d.
Pengelolaan sarana prasarana khusus
Berdasarkan
kurikulum pendidikan inklusif, keberadaan sarana dan prasarana diperlukan dalam
menunjang pencapaian pengembangan potensi peserta didik.
Pengelolaan sarana
dan prasarana khusus di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dilakukan
secara terpadu oleh guru pendidikan khusus (GPK ),
guru kelas dan tim dari berbagai profesi
yang terkait (antara lain, dokter mata, psikolog, ahli pendidikan luar biasa,
ahli olahraga anak luar biasa, social
worker, konselor, dokter ahli THT ,
ahli terapi wicara, neurolog, dokter spesialis anak, dokter ortopedi, ortotis
protetis, fisioterapis, okupasional terapis, ahli bahasa (ahli remedial
bahasa/menulis) sesuai jenis dan tingkat kemampuan anak berkebutuhan khusus.
Penggunaan sarana
dan prasarana bersifat fleksibel artinya tidak dikhususkan untuk setiap anak
dan tiap bidang pengajaran, akan tetapi dapat digunakan oleh anak-anak lain dan
dalam bidang studi yang berbeda dan dalam kelas yang berbeda. Jadi dalam hal
ini sangat dibutuhkan kreativitas pengelola dalam menentukan jenis alat serta
penentuan tujuan penggunaan sarana dan prasarana tersebut.
Dapat pula
dikatakan bahwa penggunaan sarana tersebut terintegrasi dalam setiap aspek
pengembangan, maksudnya dalam sekali melakukan kegiatan, penggunaannya dapat
membelajarkan semua aspek (fisik, intelektual, sosial, dan emosi) dari anak
berkebutuhan khusus. Sebagai contoh, penggunaan alat latih sensori motor selain
untuk melatih ketajaman indera dapat pula melatih kemampuan berbicara,
bersosialisasi ataupun keseimbangan. Disinilah dapat kita lihat bahwa
penggunaan alat sangat tergantung pada kedalaman pemahaman pengelola akan
sarana yang ada serta kebutuhan anak berkebutuhan khusus.
Sarana dan
prasarana yang tercantum dalam buku pedoman ini merupakan pedoman alat minimal,
maksudnya sarana dan prasarana dapat diciptakan oleh pengelola sendiri dengan
memperhatikan kebutuhan anak berkebutuhan khusus, keadaan lingkungan,
perkembangan dan tujuan pembelajaran.Hal yang tidak kalah pentingnya adalah
perlunya meningkatkan komunikasi dengan orang tua mengenai keberadaan sarana
dan prasarana yang ada agar tercipta kelanjutan pengunaan alat-alat ini di
lingkungan keluarga sehingga orangtua dapat membantu meningkatkan pembelajaran
anaknya di rumah.
D.
Suka dan Duka Menjadi Guru di SD Inklusi
1.
Suka
Guru
merupakan salah satu tokoh penting dalam praktek inklusi di sekolah, karena
guru berinteraksi secara langsung dengan para siswa,baiksiswayangberkebutuhan
khusus, maupu siswanonberkebutuhanak khusus.
Seorang guru diharapkan dapat memberikan kehidupan kelas agar menjadi
lebih hangat dan pada waktu yang bersamaan dapat memberikan pemahaman kepada
murid yang lainuntukdapatsaling berinteraksi.
a.
Guru merasa senang karena dapat
menggabungkan semua anak seyogyanya belajar bersama – sama tanpa memandang
perbedaan yang mungkin ada pada mereka.
b.
Guru merasa senang karena dapat
memberikan hak yang sama pada anak ABK ataupun anak normal untuk memperoleh
manfaat maksimal dari pendidikan,sesuai dengan UUD 1945 pasal 31 ayat (1) dan
(2) mengamanatkan bahwa setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama
untuk memperoleh pendidikan.
c.
Guru merasa senang karena dapat
memberikan rasa empati bagi anak-anak reguler kepada ABK.
d.
Dapat bekerja sama dengan guru
pendamping ABK.
e.
Menambah wawasan Guru ,karena mempelajari ciri-ciri dan
penanganan dan lain-lain tentang ABK
f.
Membantu mereka bersosialisasi, dan
membiasakan kita untuk menerima keberadaan ABK di tengah-tengah masyarakat
Dengan begitu guru
umum atau reguler akan lebih banyak mengenal karakter siswa yang bermacam-macam
yang semula hanya mengenal siswa secara sempit tetapi dengan adanya pendidikan
inklusi guru dapat mengenal siswa secara luas atau keseluruhan yang meliputi
anak berkebutuhan khusus.
2.
Duka
Minimnya sarana penunjang sistem pendidikan inklusi,
terbatasnya pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh para guru sekolah
inklusi menunjukkan betapa sistem pendidikan inklusi belum benar–benar
dipersiapkan dengan baik. Apalagi sistem kurikulum pendidikan umum yang ada
sekarang memang belum mengakomodasi keberadaan anak–anak yang memiliki
perbedaan kemampuan (difabel). Sehingga sepertinya program pendidikan inklusi
hanya terkesan program eksperimental. Kondisi ini jelas menambah beban tugas
yang harus diemban para guru yang berhadapan langsung dengan persoalan teknis
di lapangan. Di satu sisi para guru harus berjuang keras memenuhi tuntutan hati
nuraninya untuk mencerdaskan seluruh siswanya, sementara di sisi lain para guru
tidak memiliki ketrampilan yang cukup untuk menyampaikan materi pelajaran kepada
siswa yang difabel. Alih-alih situasi kelas yang seperti ini bukannya
menciptakan sistem belajar yang inklusi, justru menciptakan kondisi
eksklusifisme bagi siswa difabel dalam lingkungan kelas reguler. Jelas ini
menjadi dilema tersendiri bagi para guru yang di dalam kelasnya ada siswa
difabel. Adapun hambatan yang dialami guru mengajar di SD Inklusi yaitu:
a. Guru
kesulitan menggabungkan
anak ABK dengan anak reguler,karena perbedaan IQ dan kekurangan fisik pada ABK.
b. Komunikasinya
sulit dan itu memang mungkin perlu waktu agar bisa memahami betul-betul apa
yang dimau ABK.
c. Ketika
Guru memberikan materi tetapi ABK tidak bisa menerima, hal itu pasti membuat
Guru merasa sedih.
d. Pembelajaran
menjadi kurang optimal,karena materi mungkin harus diulang-ulang karena ABK
kesulitan menerima materi yang disampaikan oleh guru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar