Jumat, 16 Januari 2015

pendidikan Inklusi

A.      Pengertian Sekolah Dasar (SD) Inklusi
Inklusi adalah istilah terbaru yang dipergunakan untuk mendeskripsikanpenyatuan bagi anak-anak berkelainan (penyandang hambatan/cacat) ke dalamprogram-program sekolah. Inklusi berasal dari kata bahasa Inggris yaitu inclusion.
Bagi sebagian besar pendidik, istilah ini dilihat sebagai deskripsi yang lebih positif dalam usaha-usaha menyatukan anak-anak yang memiliki hambatan dengan cara-cara yang realistis dan komprehensif dalam kehidupan pendidikan yang menyeluruh. Inklusi dapat berarti bahwa tujuan pendidikan bagi siswa memiliki hambatan adalah, keterlibatan yang sebenarnya dari tiap anak dalam kehidupan sekolah yang menyeluruh. Inklusi dapat berarti penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, interaksisosial dan konsep diri (visi-misi) sekolah. 
Pendidikan inklusi merupakan sebuah pendekatan yang berusaha mentransformasi sistem pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Hambatan yang ada bisa terkait dengan masalah etnik, gender, status sosial, kemiskinan dan lain-lain. Dengan kata lain pendidikan inklusi adalah pelayanan pendidikan anak berkebutuhan khusus yang dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.
Sekolah inklusi adalah sekolah reguler yang mengkoordinasi dan mengintegrasikan siswa reguler dan siswa penyandang cacat dalam program yang sama, dari satu jalan untuk menyiapkan pendidikan bagi anak penyandang cacat adalah pentingnya pendidikan inklusi, tidak hanya memenuhi target pendidikan untuk semua dan pendidikan dasar 9 tahun, akan tetapi lebih banyak keuntungannya tidak hanya memenuhi hak-hak asasi manusia dan hak-hak anak tetapi lebih penting lagi bagi kesejahteraan anak, karena pendidikan inklusi mulai dengan merealisasikan perubahan keyakinan masyarakat yang terkandung di mana akan menjadi bagian dari keseluruhan, dengan demikian penyandang cacat anak akan merasa tenang, percaya diri, merasa dihargai, dilindungi, disayangi, bahagia dan bertanggung jawab.
Inklusi terjadi pada semua lingkungan sosial anak, Pada keluarga, pada kelompok teman sebaya, pada sekolah, pada institusi-institusi kemasyarakatan lainnya. Sebuah masyarakat yang melaksanakan pendidikan inklusi berkeyakinan bahwa hidup dan belajar bersama adalah cara hidup (way of life) yang terbaik, yang menguntungkan semua orang, karena tipe pendidikan ini dapat menerima dan merespon setiap kebutuhan individual anak. Dengan demikian sekolah atau pendidikan menjadi suatu lingkungan belajar yang ramah anak-anak. Pendidikan inklusi adalah sebuah sistem pendidikan yang memungkinkan setiap anak penuh berpartisipasi dalam kegiatan kelas reguler tanpa mempertimbangkan kecacatan atau karakteristik lainnya.

B.       Karakteristik Sebagai Guru Sekolah Dasar (SD) Inklusi
Guru sekolah inklusi yang efektif harus memahami dan apresiasi terhadap keberagaman siswa yang berarti mereka harus dibekali dengan berbagai teknik pendidikan umumnya maupun pendidikan khusus dan harus juga menjadi nyaman dengan perubahan, serta mereka harus belajar secara dini pada persiapan mereka untuk menjadi fleksibel dan kreatif. Adapun karakteristik sebagai gutrtu yaitu :
1.      Keyakinan, nilai, dan sikap guru terhadap pendidikan inklusi yaitu guru umum atau reguler untuk mengajar anak dengan keragaman kebutuhan dan perilaku belajar yang memberikan kesempatan terhadap keefektifan pendidikan inklusi. Guru menghargai belajar sebagai proses sepanjang hayat dimana mereka dapat membagi tanggungjawab dengan orangtua untuk memaksimalkan kualitas kecintaan anak, kebutuhan meraih kompetensi akademik dan sosial anak sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan inklusi.
2.      Memungkinkan kondisi untuk pendidikan inklusi yaitu proses penggabungan pendidikan umum atau reguler dan pendidikan khusus mempersyaratkan guru untuk melakukan konsultasi dan kolaborasi satu dengan yang lain dan adanya perencanaan penyediaan pembelajaran adaptif untuk semua anak. Sikap positif dan ketersediaan sumber akan mempengaruhi kondisi dalam pelaksanaan pendidikan inklusi antara lain latihan dan pengembangan profesional guru, penyatuan sumber kepemimpinan administratif dan dukungan.
3.      Pembelajaran adiptif yaitu pembelajarn ytang merespon yang mengadaptasi kebutuhan belajar yang unik dari semua siswa secara inovatif dan kolaboratif.
4.      Pelatihan dan pengembangan profesional yaitu guru membutuhkan informasi yang akan memperluas pemahaman apresiasi terhadap keburtuhan khusus.
5.      Pencapaian integrasi sosial yaitu pengembangan ketrampilan terhadap anak berkebutuhan khusus dengan siswa lainnya.




C.      Kondisi Sekolah Dasar (SD) Inklusi
1.      Peserta didik
Untuk kelas-kelas rendah atau di sekolah dasar, adanya anak-anak yang termasuk anak berkebutuhan khusus sangat mungkin kita temukan di sana. Namun keberadaan anak ini biasanya belum begitu dikenali oleh guru pengampunya. Hal ini terjadi karena guru belum memiliki wawasan mengenai anak berkebutuhan khusus. Guru di sekolah dasar kebanyakan baru mengetahui mengenai anak tunanetra, tunarungu, dan tunadaksa, autisme saja karena relatif mudah dikenali dan dideteksi. Biasanya yang lain belum begitu banyak dikenali sehingga sangat mungkin memberikan perlakuan yang salah. Bagi yang telah terbiasa bergelut atau menangani anak berkebutuhan khusus tentu telah banyak memiliki wawasan dan kemampuan mengidentifikasi anak berkebutuhan khusus. Hal ini, tentu sangat berbeda dengan mereka yang belum terbiasa atau bukan bidangnya sehingga banyak memiliki keterbatasan pengetahuan dan keterampilan dalam memahami anak berkebutuhan khusus. Untuk mengidentifikasi apakah seorang anak tergolong anak dengan kebutuhan khusus atau bukan, perlu terlebih dahulu dirumuskan pengertian anak kebutuhan khusus, ciri-ciri atau karakteristik, kemudian dirumuskan kaitannya dengan identifikasi anak berkebutuhan khusus ini. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang secara signifikan mengalami kelainan atau penyimpangan baik secara fisik, mental-intelektual, sosial, dan emosional dalam proses pertumbuhan dan atau perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Dengan demikian, meskipun seorang anak mengalami kelainan atau penyimpangan tertentu, namun tidak signifikan sehingga mereka tidak memerlukan pelayanan pendidikan khusus, maka anak tersebut tidak termasuk anak kebutuhan khusus. Namun sebaliknya walaupun kelihatannya mereka secara fisik, mental-intelektual, sosial, dan emosional tidak mengalami kelainan namun apabila dalam pendidikannya mereka memerlukan layanan khusus maka anak tersebut dikatakan sebagai anak berkebutuhan khusus. Untuk memahami lebih lanjut anak berkebutuhan khusus dalam konteks pendidikan maka pengenalan mengenai anak berkebutuhan khusus sangat diperlukan. Adapun beberapa jenis anak berkebutuhan khusus yang sering kita temukenali, secara singkat dijelaskan sebagai berikut:
a.       Anak tunanetra adalah anak yang mengalami gangguan daya penglihatannya, berupa kebutaan menyeluruh atau sebagian, dan walaupun telah diberi pertolongan dengan alat-alat bantu khusus masih tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Sebagaiama diketahui bahwa setiap anak dengan kebutuhan khusus memiliki karakteristik atau ciri-ciri tertentu yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Karakteristik atau ciri-ciri yang menonjol dari anak tunanetra adalah: a. tidak mampu melihat, b. tidak mampu mengenali orang pada jarak 6 meter erusakan nyata pada kedua bola mata, c. sering meraba-raba/tersandung waktu berjalan, d. mengalami kesulitan mengambil benda kecil di dekatnya, e. bagian bola mata yang hitam berwarna keruh/besisik/kering, f. peradangan hebat pada kedua bola mata, dan g. mata sering bergoyang. Karakteristik yang ada ini tentu tidak mesti semuanya muncul, namun bila sangat mendominiasi dan mengganggu proses pendidikannya maka dikatakan sebagai anak tunanetra sehingga memerlukan pelayanan khusus dalam pendidikannya.
b.      Anak tunarungu adalah anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya pendengarannya sehingga tidak atau kurang mampu berkomunikasi secara verbal dan walaupun telah diberikan pertolongan dengan alat bantu dengar masih tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Dalam kelompok tunarungu ini biasanya juga kita kenal adanya anak yang mengalami gangguan komunikasi yaitu anak yang mengalami kelainan suara, artikulasi atau pengucapan, atau kelancaran bicara, yang mengakibatkan terjadi penyimpangan bentuk bahasa, isi bahasa, atau fungsi bahasa, sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Memang anak yang mengalami gangguan komunikasi tidak selalu disebabkan karena faktor ketunarunguan. Karakteristik anak tunarungu adalah: a. tidak mampu mendengar, b. terlambat perkembangan bahasa, c. sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi, d. Kurangatau tidak tanggap bila diajak bicara, e. ucapan kata tidak jelas, f. kualitas suara monoton, g. sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar, dan h. banyak perhatian terhadap getaran. Anak yang mengalami gangguan komunikasi memiliki karakteristik; a. sulit menangkap isi pembicaraan orang lain, b. tidak lancar dalam berbicara dan mengemukakan ide, c. sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi, d. kalau berbicara sering gagap atau gugup, e. suaranya parau, f. tidak fasih mengucapkan kata-kata tertentu seperti celat atau cadel, dan g. organ bicaranya tidak normal.
c.       Anak tunagrahitaatau sering disebut retardasi mental adalah anak yang secara nyata mengalami hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental jauh di bawah rata-rata, sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, komunikasi maupun sosial, dan karenanya memerlukan layanan pendidikan khusus. Tunagrahita dapat dibedakan menjadi tiga yaitu mampu didik, mampu latih dan mampu rawat. Adapun karakteristik anak tunagrahita adalah: a. penampilan fisik tidak seimbang, misalnya kepala terlalu kecil/ besar, b. tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usia, c. perkembangan bicara/bahasa terlambat, d. tidak ada/kurang sekali perhatiannya terhadap lingkungan (pandangan kosong), e. koordinasi gerakan kurang (gerakan sering tidak terkendali), dan f. sering keluar ludah dari mulut (ngiler). Anak tunagrahita terutama yang memiliki tingkat intelegensi antara 55-75 inilah yang sering luput dari perhatian guru di sekolah, karena guru tidak menyangka kalau siswanya tersebut termasuk anak tunagrahita sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
d.      Anak tunadaksa adalah anak yang mengalami kelainan atau cacat yang menetap pada alat gerak (tulang, sendi, otot) dan syaraf sedemikian rupa sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak tunadaksa jenisnya sangat banyak dan saat ini yang sering kita temukan adalah anak tunadaksa jenis cerebral palsy dan poliomylitis. Adapun karakteristik anak tunadaksa adalah: a. anggota gerak tubuh kaku/lemah/lumpuh, b. kesulitan dalam gerakan (tidak sempurna, tidak lentur/tidak terkendali), c. terdapat bagian anggota gerak yang tidak lengkap/tidak sempurna/lebih kecil dari biasa, d. terdapat cacat pada alat gerak, e. jari tangan kaku dan tidak dapat menggenggam, f. kesulitan pada saat berdiri/berjalan/duduk, dan menunjukan sikap tubuh tidak normal. Jenis anak tunadaksa ini mungkin guru sudah mampu mengenali namun sangat mungkin guru belum sampai memahami jenis apa dan bagaimana memberikan pelayanan yang tepat bagi mereka.
e.       Anak tunalarasyaitu anak yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dan bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kelompok usia maupun masyarakat pada umumnya, sehingga merugikan dirinya maupun orang lain, dan karenanya memerlukan pelayanan pendidikan khusus demi kesejahteraan dirinya maupun lingkungannya. Anak tunalaras secara umum memiliki karakteristik sebagai berikut; a. bersikap membangkang, b. mudah terangsang emosinya/emosional/mudah marah, c. sering melakukan tindakan agresif, merusak, mengganggu, d. sering bertindak melanggar norma sosial atau norma susila atau hukum. Anak tunalaras ini dalam pengkajian selanjutnya sering disebut sebagai anak dengan gangguan emosi dan perilaku. Dikatakan anak dengan gangguan emosi dan perilaku karena lebih menitikberatkan pada faktor penyebab dan kemungkinan tindakan untuk memberikan layanan bagi anak tersebut.
f.       Anak berbakatadalah anak yang memiliki potensi kecerdasan atau inteligensi, kreativitas tinggi, dan tanggungjawab terhadap tugas atau task commitment di atas anak-anak seusianya atau anak normal, sehingga untuk mewujudkan potensinya menjadi prestasi nyata, memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Sangat banyak karakteristik yang melekat pada anak berbakat antara lain; a. membaca pada usia lebih muda, b. membaca lebih cepat dan lebih banyak, c. memiliki perbendaharaan kata yang luas, d. mempunyai rasa ingin tahu yang kuat, e. mempunyai minat yang luas, f. mempunyai inisiatif dan dapat berkeja sendiri, g. menunjukkan keaslian (orisinalitas) dalam ungkapan verbal, h. dapat memberikan banyak gagasan, i. luwes dalam berpikir, j. terbuka terhadap rangsangan-rangsangan dari lingkungan, k. mempunyai pengamatan yang tajam, l. dapat berkonsentrasi untuk jangka waktu panjang, terutama terhadap tugas atau bidang yang diminati, m. berpikir kritis, juga terhadap diri sendiri, n. senang mencoba hal-hal baru, o. mempunyai daya abstraksi, konseptualisasi, dan sintesis yang tinggi, p. senang terhadap kegiatan intelektual dan pemecahan-pemecahan masalah, q. cepat menangkap hubungan sebabakibat, r. berperilaku terarah pada tujuan, s. mempunyai daya imajinasi yang kuat, t. mempunyai daya ingat yang kuat, u. tidak cepat puas dengan prestasinya, dan sebagainya.
g.      Anak lamban belajaratau anak slow learner adalah anak yang memiliki potensi intelektual sedikit di bawah normal tetapi belum termasuk tunagrahita. Dalam beberapa hal mengalami hambatan atau keterlambatan berpikir, merespon rangsangan dan adaptasi sosial, tetapi masih jauh lebih baik dibanding dengan yang tunagrahita, lebih lamban dibanding dengan yang normal, mereka butuh waktu yang lebih lama dan berulang-ulang untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas akademik maupun non akademik, dan karenanya memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak dengan lamban belajar memiliki karakteristik sebagai berikut; a. rata-rata prestasi belajarnya selalu rendah, b. dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik sering terlambat dibandingkan teman-teman seusianya, c. daya tangkap terhadap pelajaran lambat. Anak-anak ini juga sangat mungkin sering luput dari perhatian guru, karena secara fisik atau penampilan fisik anak-anak ini tidak menunjukan adanya perbedaan yang mencolok dangan anak-anak pada umumnya. Keberadaan anak lamban belajar sesungguhnya termasuk dalam jumlah yang banyak dan sering ditemukan di sekolah terutama di sekolah dasar di kelas rendah yaitu antara kelas satu hingga kelas tiga.
h.      Anak berkesulitan belajar
Spesifik adalah anak yang secara nyata mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik khusus terutama dalam hal kemampuan membaca, menulis dan berhitung atau matematika. Anak berkesulitan belajar spesifik diduga disebabkan karena faktor disfungsi neugologis, bukan disebabkan karena faktor inteligensinya. Kebanyakan anak berkesulitan belajar spesifik memiliki inteligensi normal bahkan ada yang di atas normal tetapi mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Anak berkesulitan belajar spesifik dapat berupa kesulitan belajar membaca (disleksia), kesulitan belajar menulis (disgrafia), atau kesulitan belajar berhitung (diskalkulia), sedangkan mata pelajaran lain mereka tidak mengalami kesulitan yang signifikan atau berarti. Anak yang mengalami kesulitan membaca (disleksia) maka perkembangan kemampuan membacanya terlambat, kemampuan memahami isi bacaan rendah, dan kalau membaca sering banyak salah. Anak yang mengalami kesulitan belajar menulis (disgrafia) yaitu kalau menyalin tulisan sering terlambat selesai, sering salah menulis huruf b dengan p, p dengan q, v dengan u, 2 dengan 5, 6 dengan 9, dan sebagainya. Hasil tulisannya jelek dan tidak terbaca, tulisannya banyak salah/terbalik/huruf hilang, sulit menulis dengan lurus pada kertas tak bergaris. Adapun anak yang mengalami kesulitan belajar berhitung (diskalkulia) adalah mereka yang sulit membedakan tanda-tanda: +, -, x, :, >, <, =, sulit mengoperasikan hitungan/bilangan, sering salah membilang dengan urut, sering salah membedakan angka 9 dengan 6; 17 dengan 71, 2 dengan 5, 3 dengan 8, dan sebagainya, dan sulit membedakan bangun-bangun geometri.
i.        Anak autisme adalah anak yang mengalami kelainan tumbuh kembang yang ditandai dengan tidak adanya kontak dengan orang lain dan asyik dengan dunianya sendiri. Mereka tidak tuli dan tidak tunawicara, mereka juga belum tentu berintelegensi rendah. Adanya keterlambatan dalam perolehan berbahasa dan perilaku bahasanya yang demikian maka dikatakan bahasanya ”bahasa planet”. Selain itu anak autisme juga mengalami gangguan komunikasi, berperilaku khusus, dan gangguan interaksi sosial. Anak autisme di Indonesia mencuat atau banyak dibicarakan baru diakhir tahun 90an, sedangkan di luar negeri sudah jauh dari itu sekitar tahun 50an. Anak-anak autisme paling banyak diderita oleh anak laki-laki. Secara sepentas, fisik anak autisme tidak menunjukan perbedaan dengan anak-anak lain pada umumnya, hanya saja ketika kita panggil atau kita ajak berkomunikasi maka mereka tidak meunjukkan respon yang baik dan tidak ada kontak. Dengan adanya tanda-tanda yang demikian maka keberadaan anak autisme ini juga sangat mungkin ditemukan di sekolah dasar. Namun bagaimana mungkin guru di sekolah tersebut dapat menangani dengan baik bila belum memiliki pengetahuan tentang anak autisme termasuk melakukan identifikasi untuk mereka.
Dengan demikian cara untuk menyiapkan pendidikan bagi anak penyandang cacat adalah pentingnya pendidikan inklusi, lebih banyak keuntungan yang bisa diperolah oleh Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), tidak hanya memenuhi hak-hak asasi manusia dan hak-hak anak tetapi lebih penting lagi bagi kesejahteraan anak, karena pendidikan inklusi mulai dengan merealisasikan perubahan keyakinan masyarakat yang terkandung di mana akan menjadi bagian dari keseluruhan, dengan demikian penyandang cacat anak akan merasa tenang, percaya diri, merasa dihargai, dilindungi, disayangi, bahagia dan bertanggung jawab. Harapan inilah yang kemudian menjadi pendorong bagi terlaksananya pendidikan inklusi di sekolah-sekolah inklusif yant telah ditentukan dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
2.      Pendidik (guru)
Kemampuan identifikasi anak berkebutuhan khusus bagi seorang guru sekolah dasar merupakan hal yang sangat penting. Kemampuan identifikasi ini sifatnya masih sederhana, baru sebatas melihat gejala-gejala fisik yang nampak. Untuk mengidentifiasi yang sesungguhnya secara akurat, tentu dibutuhkan tenaga profesional yang lebih berwenang, seperti tenaga medis, psikolog, orthopedagog, dan sebagainya. Dengan adanya alat identifikasi anak kebutuhan khusus tentu dapat membantu guru. Instrumen dapat disusun oleh guru yang bersangkutan apabila telah memiliki wawasan atau sekedar menggunakan instrumen yang telah ada dan tinggal menyesuaikan dalam penggunaannya. Instrumen ini disusun dengan mencantumkan daftar pertanyaan atau pernyataan yang berisi gejala-gejala yang nampak pada anak untuk setiap jenis kelainan. Dengan adanya bantuan instrumen pengamatan, seorang guru sekolah dasar dapat mengidentifikasi calon ataupun peserta didiknya. Seorang guru sekolah dasar, dengan mengamati gejala-gejala yang nampak atau jika menemukan anak yang memiliki tanda-tanda mirip atau sama dengan gejala-gejala yang tertulis dalam instrumen, maka guru dengan mudah dapat menandainya, dan jika secara kualitatif memenuhi standar minimal yang ditetapkan, maka anak tersebut dapat dikategorikan sebagai anak dengan kebutuhan khusus. Dengan instrumen identifikasi ini, secara sederhana dapat disimpulkan apakah seorang anak tergolong anak dengan kebutuhan khusus atau bukan.
Identifikasi secara harfiah adalah menemukan atau menemukenali. Setelah dilakukan identifikasi, kondisi seseorang dapat diketahui, apakah pertumbuhan dan perkembangannya normal atau tidak. Apabila mengalami kelainan atau penyimpangan, maka guru dapat mengelompokkan atau mengidentifikasi sebagaimana dalam kelompokknya: apakah termasuk anak tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa atau bahkan anak berbakat dan sebagainya. Dengan diketahui atau diidentifikasinya anak di awal pembelajaran maka guru tentu akan lebih baik dalam memberikan pelayanan selanjutnya apalagi kalau sampai dikatehui anak tersebut sebagai anak berkebutuhan khusus. Kegiatan identifikasi sifatnya masih sederhana dan tujuannya lebih ditekankan pada menemukan secara kasar apakah seorang anak tergolong anak dengan kebutuhan khusus atau bukan. Sebagaimana biasanya identifikasi dapat dilakukan oleh orang-orang yang dekat dengan anak, seperti orang tuanya, pengasuhnya, atau gurunya, maka guru sekolah dasar dalam hal ini dapat melakukan identifikasi siswa sebagai peserta didiknya. Adapun langkah selanjutnya yaitu asesmen, maka guru masih memungkinkan melakukan itu dengan catatan guru tersebut memiliki kemampuan dan wawasan yang mewadai.
Identifikasi dalam kehidupan sehari-hari sering disebut penjaringan, dan asesmen sebagai penyaringan. Secara umum tujuan identifikasi adalah untuk menghimpun informasi atau data apakah seorang anak termasuk anak berkebutuhan khusus atau tidak. Hasil dari identifikasi dan asesmen akan menjadi dasar dalam penyusunan program pembelajaran selanjutnya sesuai dengan keadaan dan kebutuhannya. Sebagaimana disebutkan dalam situs direktorat pembinaan sekolah luar biasa (http:ditplb.org) bahwa dalam rangka pendidikan inklusi, kegiatan identifikasi anak dengan kebutuhan khusus dilakukan untuk lima keperluan, yaitu: (1) penjaringan (screening), (2) pengalihtanganan (referal), (3) klasifikasi, (4) perencanaan pembelajaran, dan (5) pemantauan kemajuan belajar. Pada tahap pertama, identifiksi berfungsi menandai anak-anak mana yang menunjukkan gejala-gejala tertentu, kemudian menyimpulkan anak-anak mana yang mengalami kelainan atau penyimpangan tertentu, sehingga anak tergolong kebutuhan khusus. Tahap kedua, pengalihtanganan (referral). Berdasarkan gejala-gejala yang ditemukan pada tahap penjaringan, selanjutnya anak-anak dapat dikelompokan menjadi dua kelompok. Pertama, ada anak yang tidak perlu dirujuk ke ahli lain (tenaga profesional) dan dapat langsung ditangani sendiri oleh guru dalam bentuk layanan pembelajaran yang sesuai. Kedua, ada anak yang perlu dirujuk ke ahli lain terlebih dulu (referral) seperti psikolog, dokter, orthopedagog, atau therapis, baru kemudian ditangani oleh guru. Baik untuk kelompok satu ataupun dua semuanya diawali dari identifikasi yang benar.
Pada tahap klasifikasi atau tahap ketiga, kegiatan identifikasi bertujuan untuk menentukan apakah anak yang telah dirujuk ke tenaga profesional benar-benar memerlukan penanganan lebih lanjut atau langsung dapat diberi pelayanan pendidikan khusus. Apabila berdasar pemeriksaan tenaga profesional ditemukan masalah yang perlu penanganan lebih lanjut seperti; pengobatan, therapy, latihan-latihan khusus, dan sebagainya maka guru tinggal mengkomunikasikan kepada orang tua siswa yang bersangkutan. Jadi guru tidak mengobati atau melakukan therapy, melainkan sekedar meneruskan kepada orang tua tentang kondisi anak yang bersangkutan. Guru hanya akan membantu siswa dalam hal pemberian pelayanan pendidikan sesuai dengan kondisi anak. Apabila tidak ditemukan tanda-tanda yang cukup bahwa anak yang bersangkutan memerlukan penanganan lebih lanjut, maka anak dapat dikembalikan ke kelas semula untuk mendapatkan pelayanan pendidikan khusus. Kegiatan klasifikasi ini memilah-milah mana anak dengan kebutuhan khusus yang memerlukan penanganan lebih lanjut dan mana yang langsung dapat mengikuti pelayanan pendidikan khusus di kelas reguler.
Lalu bagaimana tahap keempat dan kelima adalah perencanaan pembelajaran, dan pemantauan kemajuan belajar. Tahap keempat dan kelima tentu dilakukan apabila tahapan satu hingga tiga telah dilakukan dengan benar. Untuk itulah agar guru sekolah dasar tersebut mampu melkukan identifikasi anak berkebutuhan khusus dengan benar maka mereka perlu mendapatkan wawasan tentang anak berkebutuhan khusus dengan benar pula. Wawasan mengenai anak berkebutuhan khusus tersebut tentu meliputi pengertiannya, ciri-ciri atau karakteristik yang nampak dan sifat-sifatnya yang tidak langsung nampak.
Dengan berbekal pemahaman yang benar inilah maka guru paling tidak akan sedikit terhindar persepsi yang salah. Tentu bekal pemahaman tentang anak berkebutuhan saja tidaklah cukup, maka tahap selanjutnya yang harus dilakukan guru sekolah dasar adalah belajar melakukan identifikasi dan mendiskusikan dengan sesama guru ataupun orang yang dianggap lebih tahu mengenai anak berkebutuhan khusus ini termasuk mendiskusikan hasil interpretasi yang telah dan akan dilakukan. Mengasah kemampuan identifikasi anak berkebutuhan khusus ini dapat dilakukan kapan, dimana saja seperti dalam kelompok kerja guru, meminta penyuluhan ataupun mencari dan membaca referensi yang terkait dengan identifikasi anak berkebutuhan khusus.
3.      Sarana Prasarana
a.       Mekanisme
Dalam menentukan kebutuhan dan pengelolaan sarana prasarana perlu memperhatikan mekanisme berikut ini:
1.      SLB Pembina  dan atau SLB terdekat  dijadikan  tempat sebagai center assesment  bagi anak yang diduga membutuhkan layanan pendidikan khusus. Penempatan layanannya dirujuk ke sekolah biasa (sekolah penyelenggara pendidikasn inklusif) yang terdekat dengan tempat tinggalnya.
2.      Pengadaan sarana dan prasarana yang diberikan pada sekolah penyelenggara pendidikan inklusif adalah hanya yang bersifat prioritas utama (sesuai dengan kebutuhan anak berkebutuhan khusus, mudah dioperasikan/tidak memerlukan tenaga operasional khusus,  relatif mudah diadakan/murah dan dapat dibuat sendiri oleh pengelola pendidikan  anak berkebutuhan khusus).
3.      Penentuan jumlah sarana dan prasarana didasarkan pada rasio pengguna dengan sarana yang diadakan ( berprinsip pada faktor guna tinggi).
4.  Pada hakekatnya semua sarana dan prasarana pendidikan yang ada pada SD reguler dapat dimanfaatkan anak berkebutuhan khusus, hanya memerlukan sedikit modifikasi dalam penggunaannya.
7.      Guru sekolah biasa yang menangani anak berkebutuhan khusus hanya guru yang telah dibekali pengetahuan dan kemampuan menangani anak berkebutuhan khusus termasuk dalam pengadaan dan penggunaan sarana dan prasarana.
8.      Cara pengadaan dan penggunaan sarana dan prasarana dapat melihat pada SLB terdekat atau memanggil guru SLB untuk datang memberi contoh mengenai penggunaan alat yang terdapat di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif.
9.      Jumlah guru reguler di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif tidak perlu ditambah tetapi disediakan guru pendidikan khusus (GPK) dari SLB yang dijadikan center     ( bisa SLB Pembina atau SLB terdekat) atau guru sekolah reguler yang dididik dan dilatih untuk menjadi seorang guru yang memahami ilmu Pendidikan Luar Biasa.
b.      Sarana dan Prasarana Umum
Sarana dan prasarana yang dibutuhkan di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif tidak berbeda dengan sarana dan parasarana yang dibutuhkan di sekolah regular pada umumnya, yaitu:
1.        Ruang kelas beserta perlengkapannya (perabot dan peralatan)
2.        Ruang praktikum (laboratorium) beserta perangkatnya (perabot dan peralatan)
3.        Ruang perpustakaan beserta perangkatnya (perabot dan peralatan)
4.        Ruang serbaguna beserta perlengkapannya (perabot dan peralatan)
5.        Ruang BP/BK beserta perlengkapannya (perabot dan peralatan)
6.        Ruang UKS berta perangkatnya (perabot dan peralatan)
7.        Ruang kepala sekolah, guru, dan tata usaha, beserta perlengkapannya (perabot dan peralatan)
8.        Lapangan olahraga, beserta peralatannya (perabot dan peralatan)
9.        Toilet
10.    Ruang ibadah, beserta perangkatnya (perabot dan peralatan)
11.    Ruang kantin
12.    Ruang sumber (tempat alat bantu belajar anak berkebutuhan khusus)
c.       Prasarana Khusus
1.      Anak Tunanetra
Untuk peserta didik tunanetra diperlukan ruang untuk melaksanakan kegiatan Asesmen,  Konsultasi, Orientasi dan Mobilitas, Remedial Teaching, Latihan Menulis Braille,  Latihan Mendengar, Latihan Fisik, Keterampilan, dan penyimpanan alat.
2.      Anak Tunarungu/Gangguan Komunikasi
Untuk peserta didik tunarungu/Gangguan Komunikasi diperlukan ruang untuk melaksanakan kegiatan Asesmen,  Konsultasi, Latihan Bina Wicara, Bina Persepsi Bunyi dan Irama, Remedial Teaching,  Latihan Fisik, Keterampilan, dan penyimpanan alat.
3.      Anak Tunagrahita
Untuk peserta didik Tunagrahita/Anak Lamban Belajar diperlukan ruang untuk melaksanakan kegiatan Assesmen,  Konsultasi, Latihan sensori, Bina diri, Remedial Teaching,  Latihan Perseptual, Keterampilan, dan penyimpanan alat.
4.      Anak Tunadaksa
Untuk peserta didik Tunadaksa diperlukan ruang untuk melaksanakan kegiatan Assesmen,  konsultasi, Latihan fisik, Bina diri, Remedial Teaching,  Keterampilan, dan penyimpanan alat.
5.      Anak Tunalaras
Untuk peserta didik Tunalaras diperlukan ruang untuk melaksanakan kegiatan Assesmen,  Konsultasi, Latihan perilaku, Terapi permainan, Terapi fisik, Remedial Teaching, dan penyimpanan alat.
6.      Anak Cerdas Istimewa
Di samping memberdayakan atau mengoptimalkan penggunaan prasarana yang ada apabila di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif peserta didiknya ada yang berkecerdasan istimewa, prasarana khusus yang perlu disediakan adalah ruang assesmen.
7.      Anak Berbakat Istimewa
Untuk anak berbakat istimewa di samping memberdayakan atau mengoptimalkan penggunaan prasarana yang ada apabila di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif peserta didiknya ada yang berbakat, prasarana khusus yang perlu disediakan adalah ruang assesmen.
8.      Anak yang Mengalami Kesulitan Belajar
Untuk peserta didik yang Mengalami Kesulitan Belajar diperlukan ruang untuk melaksanakan kegiatan Assesmen,  dan Remedial. Sebagai catatan, pada dasarnya di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif cukup disiapkan satu unit ruang sebagai ”Resource Room” atau ruang sumber.
d.      Pengelolaan sarana prasarana khusus
Berdasarkan kurikulum pendidikan inklusif, keberadaan sarana dan prasarana diperlukan dalam menunjang pencapaian pengembangan potensi peserta didik.
Pengelolaan sarana dan prasarana khusus di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dilakukan secara terpadu oleh guru pendidikan khusus (GPK), guru kelas dan  tim dari berbagai profesi yang terkait (antara lain, dokter mata, psikolog, ahli pendidikan luar biasa, ahli olahraga anak luar biasa, social worker, konselor, dokter ahli THT, ahli terapi wicara, neurolog, dokter spesialis anak, dokter ortopedi, ortotis protetis, fisioterapis, okupasional terapis, ahli bahasa (ahli remedial bahasa/menulis) sesuai jenis dan tingkat kemampuan anak berkebutuhan khusus.
Penggunaan sarana dan prasarana bersifat fleksibel artinya tidak dikhususkan untuk setiap anak dan tiap bidang pengajaran, akan tetapi dapat digunakan oleh anak-anak lain dan dalam bidang studi yang berbeda dan dalam kelas yang berbeda. Jadi dalam hal ini sangat dibutuhkan kreativitas pengelola dalam menentukan jenis alat serta penentuan tujuan penggunaan sarana dan prasarana tersebut.
Dapat pula dikatakan bahwa penggunaan sarana tersebut terintegrasi dalam setiap aspek pengembangan, maksudnya dalam sekali melakukan kegiatan, penggunaannya dapat membelajarkan semua aspek (fisik, intelektual, sosial, dan emosi) dari anak berkebutuhan khusus. Sebagai contoh, penggunaan alat latih sensori motor selain untuk melatih ketajaman indera dapat pula melatih kemampuan berbicara, bersosialisasi ataupun keseimbangan. Disinilah dapat kita lihat bahwa penggunaan alat sangat tergantung pada kedalaman pemahaman pengelola akan sarana yang ada serta kebutuhan anak berkebutuhan khusus.
Sarana dan prasarana yang tercantum dalam buku pedoman ini merupakan pedoman alat minimal, maksudnya sarana dan prasarana dapat diciptakan oleh pengelola sendiri dengan memperhatikan kebutuhan anak berkebutuhan khusus, keadaan lingkungan, perkembangan dan tujuan pembelajaran.Hal yang tidak kalah pentingnya adalah perlunya meningkatkan komunikasi dengan orang tua mengenai keberadaan sarana dan prasarana yang ada agar tercipta kelanjutan pengunaan alat-alat ini di lingkungan keluarga sehingga orangtua dapat membantu meningkatkan pembelajaran anaknya di rumah.

D.      Suka dan Duka Menjadi Guru di SD Inklusi
1.      Suka
Guru merupakan salah satu tokoh penting dalam praktek inklusi di sekolah, karena guru berinteraksi secara langsung dengan para siswa,baiksiswayangberkebutuhan khusus, maupu siswanonberkebutuhanak khusus.  Seorang guru diharapkan dapat memberikan kehidupan kelas agar menjadi lebih hangat dan pada waktu yang bersamaan dapat memberikan pemahaman kepada murid yang lainuntukdapatsaling berinteraksi.
a.       Guru merasa senang karena dapat menggabungkan semua anak seyogyanya belajar bersama – sama tanpa memandang perbedaan yang mungkin ada pada mereka.
b.      Guru merasa senang karena dapat memberikan hak yang sama pada anak ABK ataupun anak normal untuk memperoleh manfaat maksimal dari pendidikan,sesuai dengan UUD 1945 pasal 31 ayat (1) dan (2) mengamanatkan bahwa setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan.
c.       Guru merasa senang karena dapat memberikan rasa empati bagi anak-anak reguler kepada ABK.
d.      Dapat bekerja sama dengan guru pendamping ABK.
e.       Menambah wawasan  Guru ,karena mempelajari ciri-ciri dan penanganan dan lain-lain tentang ABK
f.       Membantu mereka bersosialisasi, dan membiasakan kita untuk menerima keberadaan ABK di tengah-tengah masyarakat
Dengan begitu guru umum atau reguler akan lebih banyak mengenal karakter siswa yang bermacam-macam yang semula hanya mengenal siswa secara sempit tetapi dengan adanya pendidikan inklusi guru dapat mengenal siswa secara luas atau keseluruhan yang meliputi anak berkebutuhan khusus.
2.      Duka
Minimnya sarana penunjang sistem pendidikan inklusi, terbatasnya pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh para guru sekolah inklusi menunjukkan betapa sistem pendidikan inklusi belum benar–benar dipersiapkan dengan baik. Apalagi sistem kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang memang belum mengakomodasi keberadaan anak–anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel). Sehingga sepertinya program pendidikan inklusi hanya terkesan program eksperimental. Kondisi ini jelas menambah beban tugas yang harus diemban para guru yang berhadapan langsung dengan persoalan teknis di lapangan. Di satu sisi para guru harus berjuang keras memenuhi tuntutan hati nuraninya untuk mencerdaskan seluruh siswanya, sementara di sisi lain para guru tidak memiliki ketrampilan yang cukup untuk menyampaikan materi pelajaran kepada siswa yang difabel. Alih-alih situasi kelas yang seperti ini bukannya menciptakan sistem belajar yang inklusi, justru menciptakan kondisi eksklusifisme bagi siswa difabel dalam lingkungan kelas reguler. Jelas ini menjadi dilema tersendiri bagi para guru yang di dalam kelasnya ada siswa difabel. Adapun hambatan yang dialami guru mengajar di SD Inklusi yaitu:
a.       Guru kesulitan menggabungkan anak ABK dengan anak reguler,karena perbedaan IQ dan kekurangan fisik pada ABK.
b.      Komunikasinya sulit dan itu memang mungkin perlu waktu agar bisa memahami betul-betul apa yang dimau ABK.
c.       Ketika Guru memberikan materi tetapi ABK tidak bisa menerima, hal itu pasti membuat Guru merasa sedih.
d.      Pembelajaran menjadi kurang optimal,karena materi mungkin harus diulang-ulang karena ABK kesulitan menerima materi yang disampaikan oleh guru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar